Organisasi ‘Aisyiyah sebagai organisasi otonom Muhammadiyah pada tanggal 19 Mei 2021 ini genap berusia 104 tahun. Sebuah usia yang menandai perjalanan panjang organisasi yang hadir sebelum Indonesia merdeka tersebut. ‘Aisyiyah sebagai organisasi yang berfokus pada gerakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar bukanlah hanya satu di antara banyak organisasi perempuan di Indonesia. Tetapi dalam perjalanannya organisasi ‘Aisyiyah telah banyak memberikan sumbangsih dalam kemajuan kehidupan perempuan tanah air serta memampukan mereka untuk terus berkarya dan berdaya.
Jika hari ini kita melihat banyak dari para perempuan yang telah malang melintang di berbagai bidang serta memperoleh prestasi dan kesuksesan, tentunya hal ini semata-mata tidak terjadi begitu saja. Tetapi selalu ada konstribusi para pendahulu yang membuka jalan bagi kaum perempuan yang selama ini kehidupannya diidentikan dengan kasur, sumur dan dapur menjadi insan-insan yang memiliki peran dan sumbangsih yang tak kalah besar dengan para lelaki. Banyak di antara perempuan di zaman dahulu (pra-kemerdekaan), baik secara individu maupun kelompok (organisasi) terus mencari cara untuk mengeluarkan perempuan dari kebodohan, tekanan-tekanan maupun stigma-stigma yang dilekatkan pada mereka. Seperti adanya aturan-aturan ataupun norma-norma adat istiadat (budaya/ kultur), sosial yang membelenggu ataupun stigma bahwa perempuan hanyalah “pemain lapis kedua”. Dalam arti keberadaannya tidak lebih penting dari kaum lelaki dan bukanlah yang utama. Terlebih dari sisi ekonomi.
Nama-nama seperti Rohana Kudus, Rahmah El Yunusiyah, Rasuna Said, Siti Manggopoh, RA Kartini maupun perempuan-perempuan kuat dan berjasa lainnya yang lahir dari kancah perjuangan Indonesia merupakan pahlawan-pahlawan yang menempati posisi pertama dalam estafet ide, gagasan maupun gerakan perempuan. Jasa-jasa mereka yang senantiasa terukir dalam sejarah bangsa turut menginspirasi generasi sesudahnya untuk berada di jalur yang sama. Setidaknya hal inilah yang kemudian memungkinkan organisasi ‘Aisyiyah untuk hadir dan turut serta dalam mengambil ancang-ancang dan menempuh rute panjang untuk bisa mengantarkan tongkat estafet kepada generasi yang hari ini hadir dengan segala tantangan maupun ujian-ujian yang terus mereka hadapi.
*Awal Berdirinya Organisasi ‘Aisyiyah*
Sejarah mencatat bahwa organisasi perempuan pertama di Indonesia bernama Putri Mardika yang berdiri pada tahun 1912. Organisasi Putri Mardika dibentuk dengan tujuan untuk mengarahkan dan membimbing perempuan bumi putra untuk menempuh pendidikan. Di samping itu organisasi ini juga memiliki tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup perempuan Indonesia. Putri Mardika mempunyai program beasiswa guna menunjang pendidikan kaum perempuan bumiputra. Kemudian organisasi ini juga aktif menerbitkan majalah Putri Mardika untuk menyebarluaskan gagasan perempuan berdikari. Gagasan-gagasan yang sesungguhnya mereka pedomani dari R.A Kartini serta dijadikan sebagai dasar dalam pergerakan organisasi. Tokoh-tokoh utama dari organisasi Putri Mardika tersebut ialah Sabaruddin, R.A Sutinah, Joyo Pranoto, Rr. Rukmini, dan Sadikun Tondokusumo.
Selanjutnya pada tanggal 27 Juni 1913 berdiri pula Kartini Fonds atau Dana Kartini di kota Den Haag, Belanda. Berdasarkan buku Kartini: Sebuah Biografi (1983) karya Soeroto, Kartini Fonds dipelopori oleh penganut kebijakan politik etis, Ny. C. Th. Van Deventer. Adapun tujuan pendirian Kartini Fonds ini juga bertujuan untuk memajukan pendidikan kaum perempuan bumiputra melalui program pendirian sekolah-sekolah alternatif bernama Sekolah Kartini. Di antaranya yaitu Sekolah Kartini di Semarang dan Jakarta. Kemudian Sekolah Kartini ini juga terus berkembang di wilayah-wilayah lainnya di tanah air. Termasuk di seluruh kota di Pulau Jawa seperti Cirebon, Indramayu, Surabaya, Pekalongan, Malang, Madiun dan lainnya.
Organisasi pergerakan perempuan berikutnya ialah organisasi ‘Aisyiyah. Organisasi ini berdiri pada tanggal 27 Rajab 1335 H atau bertepatan dengan 19 Mei 1917. ‘Aisyiyah sendiri pada awalnya berupa perkumpulan Wal ‘Ashri, Maghribi School, Sapa Tresna yang merupakan pengajian Alquran dan kelas baca-tulis khusus perempuan yang diselenggarakan tahun 1914 dan dirintis oleh Nyai Ahmad Dahlan atau Siti Walidah. Selanjutnya K.H Ahmad Dahlan sebagai pendiri Persyarikatan Muhammadiyah pun memberikan dukungan penuh dan dorongan bagi perempuan untuk mendapatkan pendidikan. Baik formal dan keagamaan.
“Perempuan juga memiliki hak untuk pintar,” demikian ungkapan Siti Walidah yang menginginkan perempuan untuk mendapatkan kesetaraan dan dapat menentukan masa depannya. Sebuah hal yang tentunya melawan zaman pada saat itu. Organisasi ‘Aisyiyah bercita-cita untuk bisa memajukan perempuan, membangun harkat dan martabatnya serta memiliki kemampuan dan keberanian untuk meningkatkan kualitas diri maupun kehidupannya. Jalan untuk mewujudkan cita-cita itu pun semakin terbuka dengan demonstrasi kalangan perempuan yang aktif dalam Sarekat Rakyat di Semarang yang menuntut perbaikan kondisi kerja buruh perempuan. Bertolak dari hal inilah kemudian diselenggarakan Kongres Perempuan Indonesia I pada tanggal 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta di sebuah Gedung Dalem Joyodipuran milik Raden Tumenggung Joyodipero. Saat itu organisasi ‘Aisyiyah pun menjadi satu di antara tujuh organisasi yang hadir seperti Wanita Taman Siswa, Wanita Utomo, Jong Islamieten Bond Dames Afdeeling, Jong Java Dames Afdeeling, Wanita Katolik dan Putri Indonesia.
Kehadiran organisasi ‘Aisyiyah yang masih bertahan hingga saat ini membuktikan bahwa perempuan juga memiliki kemauan, kekuatan dan kemampuan yang sama untuk memperjuangkan apa yang mereka yakini ataupun dalam mengubah nasib menjadi lebih baik. Sehingga mereka pun bisa membantu kaumnya. Mulai dari orang-orang terdekat (keluarga) ataupun para perempuan yang ada di seluruh wilayah Indonesia. Gerak dakwah ‘Aisyiyah hari ini pun telah tersebar dari tingkat pusat sampai ranting di seluruh Indonesia yang meliputi 34 Pimpinan Wilayah ‘Aisyiyah (provinsi), 458 Pimpinan Daerah ‘Aisyiyah (kabupaten/ kota), 3193 Pimpinan Cabang ‘Aisyiyah (kecamatan), 9.781 Pimpinan Ranting ‘Aisyiyah (desa), serta Pimpinan Cabang Istimewa ‘Aisyiyah (PCIA) di Mesir, Australia, Hongkong, Malaysia dan Taiwan.
Selain itu program-program kerja yang dimiliki ‘Aisyiyah juga telah menyentuh berbagai aspek dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Mulai dari bidang pendidikan, keagamaan, sosial, politik, budaya, kesehatan, hingga ekonomi. Misalnya saja berupa pendirian dan pengelolaan amal usaha seperti PAUD/ Taman Kanak-kanak/ sekolah-sekolah, panti asuhan. Kemudian kegiatan pengajian/ wirid rutin, pendirian RS ‘Aisyiyah, program santunan kepada kaum dhuafa, pengkaderan berjenjang. Berikutnya juga ada pengembangan softskill ataupun keterampilan bagi anggota dan masyarakat yang bekerjasama dengan instansi atau lembaga terkait. Baik itu berupa public speaking, literasi, dsb. Di samping itu juga ada pembinaan bagi UMKM maupun anggota yang berminat terhadap dunia wirasuaha. Semua program kerja ini menggambarkan bahwa organisasi ‘Aisyiyah di samping sebagai bagian dari persyarikatan Muhammadiyah, gerakan dakwah amar ma’ruf nahi mungkar, ia juga menempatkan diri sebagai mitra strategis instansi pemerintah maupun lembaga terkait lainnya dalam mengurangi beban ataupun menyelesaikan persoalan masyarakat.
*Keanggotaan yang Solid dan Antusiasme Berorganisasi*
Kesanggupan organisasi ‘Aisyiyah untuk terus tumbuh dan bertahan sampai sat ini bukan hanya karena adanya ide ataupun gagasan formal (visi misi) yang dimilikinya, tetapi juga karena adanya kesolidan pengurus serta anggota dan kader dari pusat hingga ke ranting. Kemudian juga didukung dengan adanya antusiasme untuk mengikuti berbagai kegiatan organisasi yang di tingkat pusat saat ini dipimpin oleh Dra. Hj. Siti Noordjannah Djohantini, M.M, M.Si. Bahkan perbedaan yang ada pada masing-masing anggota tidak menghalangi mereka untuk tetap seayun selangkah dan bergerak dalam roda organisasi ataupun persyarikatan. Baik itu berupa perbedaan usia, latar belakang, status sosial maupun ekonomi.
Semuanya pun tanpa sungkan membaur dan melebur tanpa adanya sekat ataupun terbebani oleh label-label tertentu yang ada pada diri pengurus ataupun anggota. Hal inilah yang menjadi kunci dalam menjaga kesolidan, keharmonisan ataupun kekuatan yang membuat ‘Aisyiyah terus bertahan di usianya sekarang. Walaupun tidak dipungkiri terkadang juga terdapat riak-riak yang selalu berupaya “ditenangkan” (diselesaikan) bersama. Maka pada Milad ke 104 ‘Aisyiyah kali ini tentunya banyak harapan yang disematkan di dada organisasi. Terlebih situasi pandemi mau tidak mau membatasi aktivitas yang selama ini rutin dilakukan.
Semoga ke depannya organisasi ‘Aisyiyah dapat berumur panjang, terus menginspirasi/ memotivasi generasi perempuan untuk melakukan berbagai kebaikan maupun menempuh jalan dakwah. Baik bagi dirinya, orang lain maupun lingkungan sekitar. Kemudian dapat terus melahirkan kader-kader cerdas yang penuh ide untuk memajukan negeri, terus menebarkan semangat Al Maun untuk menyelesaikan persoalan masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Serta meningkatkan kualitas perempuan tanah air. Serta senantiasa diliputi semangat yang tak pernah padam untuk berbuat dan menebar kebaikan bagi seisi alam.(*)
*(Penulis merupakan Alumni Komunikasi Penyiaran Islam IAIN Imam Bonjol Padang dan saat ini berkecimpung di Pimpinan Daerah ‘Aisyiyah Kota Padang dan Pimpinan Wilayah ‘Aisyiyah Sumatera Barat)*