Oleh :
Ade Faulina

Pagi itu udara terasa sedikit berbeda. Sinar Mentari menyapa dengan hangatnya. Langit biru dan awan putih seolah ikut berarak menemani perjalananku dan suami ke pasar terdekat. Sudah beberapa hari aku absen ke pasar untuk membeli kebutuhan harian. Motor matic roda dua itu terus bergerak melewati deretan rumah-rumah mewah yang tidak kuketahui pemiliknya. Belum lagi sekolah, tempat les dan bimbel yang letaknya saling berdekatan satu sama lain. Memang sekitar lima tahun terakhir kawasan di sekitar tempat tinggalku sangat diminati oleh kalangan berduit. Bukan hanya rumah mewah bertingkat dengan desain mencolok yang sangat kontras dengan kediaman penduduk asli (yang lebih dulu menempati wilayah tersebut), namun juga bangunan sekolah, tempat les, playground maupun mini market yang sebelumnya tidak ada.
Aku ingat dulu jalan Belanti, Khatib Sulaiman, kawasan yang mereka tempati saat ini, hanyalah berupa lahan kosong yang ditumbuhi rerumputan dan semak belukar. Setiap sore akan dengan mudah kita temukan ternak warga seperti ayam, itik, kambing dan kerbau yang berkeliaran untuk sekadar mencari makan. Bahkan banyak dari warga, khususnya anak muda yang menjadikan area tersebut sebagai tempat belajar berkendara. Jalan aspal yang berada di tengah lahan tidur sering dimanfaatkan untuk memantapkan kepandaian mereka dalam mengendarai motor maupun mobil. Itu semua jauh sebelum satu per satu masyarakat pendatang mulai tertarik membangun rumah dan bermukim di kawasan yang rentan tawuran pelajar tersebut. Ya, beberapa sekolah negeri dan swasta berada dalam lingkup yang berdekatan. Satu persoalan kecil saja bisa memicu adrenalin pelajar untuk saling memburu dan melukai satu sama lain.
Aku terkesiap ketika roda motor melewati salah satu tanggul yang dibangun secara swadaya oleh masyarakat itu. Tidak butuh waktu lama bagi kami untuk tiba di Pasar Ulak Karang yang sudah sedari sekolah dasar aku kunjungi bersama keluarga. Motor bercat hitam itu kini berhenti tepat di depan anak tangga, lokasi parkir yang telah disediakan. Aku pun lalu berjalan ke kios-kios yang berada dalam bangunan yang baru saja selesai direnovasi itu. Kabarnya Kementerian Perdagangan mengucurkan dana Rp. 3 miliar kepada Pemkot Padang untuk merevitalisasi pasar tersebut pada 2023 lalu.
Sejumlah pedagang pun menempati kios-kios yang telah disediakan. Banyak di antara para pedagang yang sudah kukenal sejak kecil. Aku ingat mama akan menyuruhku beristirahat di salah satu lapak pedagang kala rasa capek menyerang. Ketika menelusuri pasar yang akan lebih ramai saat bulan Ramadhan datang itu. Aku pun mengeluarkan catatan kecil yang tadi kuselipkan di dalam tas. Seperti biasa aku terlebih dahulu membeli bumbu-bumbu masakan. Seperti bawang merah, bawang putih, kunyit, jahe, cabe giling, tambahan daun-daun dan yang lainnya.
Hampir 30 menit aku berkeliling mencari dan membeli semua bahan yang dibutuhkan untuk memasak menu hari itu. Tak jarang untuk beberapa saat aku bercengkerama ataupun mengobrol dengan penjual yang kukenal. Sekadar untuk menanyakan kabar maupun perkembangan harga-harga barang kebutuhan pokok yang terbaru. Harga-harga kebutuhan pokok yang cenderung fluktuatif acapkali membuat pedagang kerepotan. Baik dari memenuhi permintaan pembeli ataupun menetapkan harga jual yang terjangkau. Sebab kiriman pasokan dari daerah-daerah tidak selalu ada hingga hambatan kecepatan dan ketepatan waktu tiba.
Aku mengecek lagi bahan-bahan yang sudah kubeli. Rupanya ada satu bahan yang hampir kulupa. Aku mempercepat langkah untuk membeli santan, satu-satunya bahan yang tadi luput kubeli. Aku meminta ½ (setengah) kg santan kental seperti yang tertulis di kertas kecil kepada penjual. Dua orang pemuda yang telah menggunakan mesin untuk mendapatkan saripati kelapa. Sementara menunggu pesanan, aku meletakkan barang belanjaan di bawah kursi kayu coklat dekat kakiku. Setelah pesanan tiba, aku bermaksud membayar santan yang kuminta, tiba-tiba pandanganku teralihkan saat Mak Simar lewat di depanku.
Mak Simar seorang pedagang tapai (singkong) yang sudah puluhan tahun berjualan di pasar yang terletak di Kecamatan Padang Utara itu. Beberapa hari yang lalu Kak Fani, penjual cabe langgananku sempat bercerita tentang keadaan Mak Simar. Perempuan paruh baya yang juga menjual sarang ketupat dan berbagai keripik itu beberapa bulan yang lalu mengalami kecelakaan yang membuat salah satu kakinya patah. Aku mengangguk-anggukkan kepala mendengar cerita Kak Fani saat itu. Cerita Kak Fani akhirnya menghapuskan keherananku yang sudah berbulan-bulan tidak melihat Mak Simar. Biasanya kalau ke pasar aku tidak pernah lupa untuk membeli tapai singkongnya yang enak, kegemaran mamaku. Dan baru hari itulah aku kembali melihat Mak Simar dengan kruk untuk menopang langkahnya yang tampak pincang.
Usai membayar santan pesananku, aku terus membatin dan salut dengan kegigihan Mak Simar. Bahkan hingga perjalanan pulang aku terus berpikir tentangnya. Aku tidak pernah tahu bagaimana persisnya kehidupan Mak Simar hingga dia tetap berjualan meski dengan kondisi seperti itu. Tentunya kesehatannya tidak lagi sama dengan dahulu. Karena untuk berjalan saja dirinya harus menggunakan kruk untuk menyeimbangkan langkah kakinya. Aku menjadi teringat bagaimana stigma ataupun pemikiran banyak orang bahwa rakyat Indonesia pemalas dan bodoh. Di banyak tulisan (media massa/ online) relatif menyebutkan bahwa bangsa ini tidak maju-maju karena rakyatnya malas berusaha, berpikir ataupun berbuat.
Kondisi Mak Simar dan para pedagang di Pasar Ulak Karang yang masih kutemui bahkan hingga aku berusia kepala tiga saat ini menyadarkanku bahwa rakyat sudah berusaha untuk berbuat semampu mereka. Semaksimal dan sebaik mungkin untuk terus bertahan. Berjuang untuk tetap memupuk asa dan bertahan dalam situasi sosial ekonomi yang kian memiriskan hati. Mulai dari pemerintahan yang korup, bayang-bayang hutang negara yang terus menumpuk. Akibat kebijakan Menteri keuangan yang lebih memilih untuk terus membebani rakyat dengan timbunan hutang yang bahkan diwariskan hingga tujuh turunan. Dibanding menggiatkan ekonomi potensial di tengah masyarakat. Ataupun Upaya-upaya untuk menstabilkan harga kebutuhan rakyat. Sebuah keadaan yang mau tidak mau harus diterima oleh warga +62.
Aku pun serasa disentil dan malu, ketika kami generasi muda (millennial dan gen-Z) yang lebih cenderung termakan kampanye #kaburajadulu akhir-akhir ini. Kampanye yang mempropagandakan cara terbaik untuk bertahan di negeri yang dalam salah satu karya penulis Tere Liye disebut sebagai “Negeri Para Bedebah” ini adalah kabur ke negara lain. Sekadar untuk mencari rezeki ataupun menyelamatkan diri demi masa depan yang lebih baik dan nyaman. Tanpa tahu ketika kita kembali apakah bangsa Indonesia yang dibangun dengan susah payah oleh para founding father ini masih ada dan baik-baik saja.
Rasanya ironis jika kita (generasi muda) kalah dibandingkan dengan kegigihan, keikhlasan dan sikap tawakal dalam menjemput rezeki dari Mak Simar dan belasan pedagang Pasar Ulak Karang yang bertahan hingga detik ini. Barangkali juga suatu kebodohan bila kita kabur menyelamatkan diri sendiri sementara kampung halaman (tanah air) ini justru terus didatangi bahkan ditinggali tanpa permisi oleh bangsa asing yang sudah kita tahu siapa. Jika kita tetap membuka pikiran, merenungkan dengan hati jernih dan harapan yang tulus, selalu ada cahaya dalam tiap kesulitan. Allah tidak tidur. Ia penguasa langit dan bumi. Selalu ada pertolongan dalam setiap ketidakberdayaan kita dalam menghadapi kezaliman yang terjadi. Tinggal kita generasi ini yang harus memilih. Apakah membiarkan keburukan tetap terjadi atau melawan dengan cara yang kita mampu untuk membalikkan dan mengubah keadaan. Jadilah generasi yang berempati dan berpikir cemerlang layaknya para pendahulu kita. Tanah air ini terlalu berharga untuk dipertaruhkan demi sekian dollar, mencari cuan hingga green card sebagai warga negara asing.**
(Penulis saat ini tinggal di Padang dan bisa dikontak melalui email : adefaulina@yahoo.com)