Munandar Maska: Suara Hati di Tengah Riuhnya Gelanggang

oleh -419 Dilihat
oleh

KUDUS,KLIKSIAR — Kudus menjadi saksi dari sebuah peristiwa yang menyentuh batin, di tengah semangat kompetisi yang membara dalam ajang PON Beladiri II 2025. Ketika pertandingan karate dihentikan sejenak untuk memberi ruang bagi salat Jumat, suasana gelanggang berubah menjadi tempat yang penuh ketenangan dan kekhusyukan.

Matras tetap terhampar, hanya ditutupi karpet sebagai alas salat. Ratusan insan olahraga atlet, pelatih, wasit, dan ofisial dari berbagai provinsi berjamaah dalam satu barisan, menyatukan diri dalam ibadah di tengah hiruk-pikuk perjuangan meraih medali.

Di antara mereka, berdirilah seorang khatib yang tak asing di dunia olahraga: Munandar Maska, wasit karate nasional asal Sumatera Barat, sekaligus Ketua Masjid Raya Ganting Padang. Ia bukan hanya dikenal karena ketegasannya di lapangan, tetapi juga karena kelembutan tutur katanya yang menyejukkan jiwa.

Dengan suara yang tenang dan penuh makna, Munandar menyampaikan khutbah bertema “Manusia yang Tidak Diterima Amalannya.” Ia mengajak para jamaah untuk merenung, bahwa amal yang dilakukan dengan hati yang tidak bersih, dengan niat yang tercemar oleh ambisi dunia, tidak akan diterima oleh Tuhan.

“Banyak manusia berbuat amal, namun tidak diterima karena sibuk mencari kesalahan orang lain, karena lebih mencintai dunia, karena kehilangan rasa malu,” ucapnya, mengingatkan bahwa kemenangan sejati bukanlah medali, melainkan keikhlasan dalam berbuat.

Ia menegaskan bahwa dunia ini hanyalah setetes air, sementara akhirat adalah samudera yang luas. Maka janganlah kita tertipu oleh gemerlap yang sementara, dan melupakan tujuan yang abadi.

Munandar juga mengingatkan tentang rasa malu sebagai bagian dari iman. “Jika rasa malu telah hilang, maka hilang pula iman,” tuturnya, mengajak setiap insan untuk menjaga integritas, baik di dalam maupun di luar gelanggang.

Usai salat, banyak yang menghampirinya. Bukan untuk bertanya soal pertandingan, tetapi untuk menyampaikan rasa terima kasih atas khutbah yang menyentuh hati. Seorang atlet dari Sulawesi berkata, “Khutbahnya sederhana, tapi mengena. Kami diingatkan kembali untuk menjaga niat dalam bertanding.”

Munandar Maska hari itu bukan hanya wasit, tetapi pembawa pesan. Di tengah gemuruh kompetisi, ia hadir sebagai pengingat bahwa perjuangan manusia bukan hanya soal menang dan kalah, tetapi tentang bagaimana menjaga hati tetap bersih, dan amal tetap lurus menuju ridha Ilahi. (***)