Oleh: Munzir Busniah (Dosen Fakultas Pertanian Universitas Andalas)
Presiden Prabowo Subianto baru saja meresmikan 80.081 Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih secara nasional pada hari Senin, 21 Juli 2025, dalam sebuah acara yang dipusatkan di Desa Bentangan, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah. Koperasi Merah Putih ini dirancang sebagai gerakan ekonomi rakyat berbasis gotong royong, dengan fokus pada distribusi sembako, layanan kesehatan desa, logistik, dan simpan pinjam. Program ini juga menjadi bagian dari strategi nasional untuk memperkuat ekonomi desa dan menciptakan kemandirian pangan.
Gerakan Koperasi Merah Putih ini perlu kita sambut dengan baik, karena koperasi adalah salah satu institusi bisnis yang tidak hanya berfokus kepada bisnis semata namun juga memiliki misi sosial, yaitu untuk mensejahterakan semua anggotanya serta lingkungannya. Disamping itu, secara emosional, koperasi seolah menjadi milik kita bersama karena Bapak Koperasi adalah Drs. Muhammad Hatta yang merupakan Wakil Presiden Pertama RI.
Nama “Merah Putih” sendiri melambangkan semangat nasionalisme. Selanjutnya Koperasi Merah Putih dibangun atas azaz solidaritas, kemandirian ekonomi, dan keberlanjutan. Prinsip dasar Koperasi Merah Putih yaitu kepemilikan kolektif dan partisipatif, penguatan kapasitas teknologi lokal, integrasi budaya dengan sistem produksi, distribusi yang adil dan berkelanjutan. Koperasi Merah Putih menempatkan petani sebagai pelaku utama transformasi, bukan sekadar objek pembangunan yang selama ini masih cukup banyak dirasakan.
Tujuan Utama Koperasi Merah Putih antara lain adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa, memperpendek rantai distribusi dan menekan peran tengkulak, meningkatkan nilai tukar petani dan inklusi keuangan serta menyediakan layanan ekonomi pedesaan, seperti sembako, simpan pinjam, klinik, logistik, serta penyimpanan dan atau pengawetan pertanian.
Mungkin karena kita “telah lama tidak berkoperasi” atau mungkin juga selama ini koperasi seolah-olah terpinggirkan dari dunia ekonomi kita, sehingga cukup banyak koperasi yang mati suri atau hidup layaknya seperti kerakap tumbuh di batu, hidup segan mati pun tak mau. Untuk itu dalam program pemerintah Presiden Prabowo, ada tiga model pembentukan atau untuk membangkitkan Koperasi Merah Putih, yaitu 1) membangun koperasi baru; 2) mengembangkan koperasi yang sudah ada; dan 3) revitalisasi koperasi yang tidak aktif.
Kenapa pertanian dan petaninya akan mendapatkan banyak manfaat dengan kehadiran Koperasi Merah Putih? Hal tersebut tentu saja karena Koperasi Merah Putih menyasar desa, menyasar petani yang sebagian besar merupakan pelaku ekonomi yang masih lemah serta menyasar berbagai komoditi pertanian yang selama ini nilai tambahnya dinikmati bukan oleh petaninya.
Sebagai sedikit gambaran, inilah sedikit potret pertanian dan petani saat ini. Menurut Sensus Pertanian 2023 oleh Badan Pusat Statistik (BPS), meskipun urbanisasi berlangsung cepat tetapi pada tahun 2025, 40,0% penduduk Indonesia masih tetap tinggal di pedesaan. Jumlah keluarga petani di Indonesia mencapai sekitar 28,19 juta orang, yang mencakup berbagai subsektor seperti tanaman pangan, peternakan, perkebunan, dan perikanan. Ini mencakup 29,96% dari total tenaga kerja nasional. Data lain menunjukkan bahwa ada sekitar 40,6 juta orang di Indonesia yang menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Disamping itu, meskipun jumlahnya besar, namun kontribusi sektor pertanian terhadap PDB nasional hanya sekitar 13,28%. Artinya, banyak yang bekerja di sektor pertanian, tapi nilai ekonominya relatif rendah.
Di sisi lain banyak kamoditi pertanian yang dihasilkan petani, namun nilai tambahnya tidak banyak yang dinikmati oleh petani.
Sebagai contoh, nilai tambah yang dinikmati petani kopi sangat bergantung pada sejauh mana petani kopi tersebut terlibat dalam rantai pasok dan proses pasca panen. Mari kita cermati data berikut. Petani yang mengolah kopi hingga tahap green bean hanya bisa mendapatkan nilai tambah sekitar Rp 5.510–Rp 8.324/kg. Kondisi seperti itulah yang banyak dilakoni oleh petani kopi. Sedangkan pada rantai pasok berikutnya tidak lagi dilakoni petani sehingga nilai tambah komoditi kopi tersebut tidak lagi dinikmati oleh petani. Cerita berikutnya, yaitu nilai tambah kopi meningkat drastis apabila kopi diolah menjadi roasted bean, nilai rupiahnya dapat mencapai Rp 77.781–Rp 182.091/kg. Bukan hanya sampai di situ saja. Nilai tambah kopi bisa mencapai Rp 74.548–Rp 159.821/kg apabila kopi diolah menjadi bubuk kopi.
Demikian pula halnya dengan kakao, yaitu nilai tambah yang dinikmati petani kakao dari kakao yang dihasilkannya juga tergolong sangat rendah. Sebagian besar petani menjual biji kakao mentah atau setengah kering, tanpa fermentasi atau pengolahan lanjutan. Dengan kondisi tersebut, maka nilai tambah yang dinikmati petani hanya sekitar 3–4% saja dari keseluruhan nilai dalam rantai pasok kakao. Petani yang melakukan fermentasi dan pengeringan kakao dengan baik maka petani tersebut bisa menikmati harga jual kakao yang lebih tinggi. Namun karena berbagai kekurangan yang dimiliki petani maka hal tersebut tidak dapat dilakukan petani. Berikutnya apabila petani mampu mengolah kakao menjadi produk antara (cocoa liquor, butter, powder), maka nilai tambahnya bisa meningkat menjadi 5–10 kali lipat. Apalagi dengan model bean-to-bar atau pengolahan lokal menjadi cokelat premium maka akan memberikan margin yang jauh lebih besar lagi serta dapat pula memperkuat identitas lokal komoditi kakao tersebut.
Tidak terkecuali pula dengan padi atau beras yang merupakan komoditi penting yang melibatkan banyak petani dalm produksinya dan menjadi makanan pokok bagi sebagian besar penduduk. Nilai tambah yang dinikmati petani padi sering kali sangat terbatas, terutama apabila petani hanya menjual gabah tanpa pengolahan atau keterlibatan dalam rantai pasok hilir. Peluang yang lebih besar akan didapatkan petani jika petani bisa masuk ke tahap pascapanen dan pengolahan hasil komoditi padi tersebut.
Demikianlah tiga contoh komoditi pertanian yang mana komoditinya dihasilkan petani namun nilai tambah komoditi tersebut tidak banyak dinikmati oleh petani. Selama ini petani hanya berkutat dalam hal produksi dan sangat kurang atau jarang sekali terlibat dalam aspek bisnis dari komoditi yang dihasilkannya. Akibatnya, nilai tambah yang dihasilkan komoditi tersebut hanya dinikmati oleh orang-orang di luar pertanian.
Kondisi tersebut tidak terlepas dari sumberdaya yang dimiliki petani. Sebagian besar petani tidak mampu mengolah atau memproses berbagai bahan mentah yang telah mereka hasilkan. Akibatnya petani menjualnya dalam bentuk yang paling awal berupa bahan mentah. Dengan demikian hanya sedikit sekali yang dapat petani nikmati dari komoditi yang dihasilkannya.
Dengan kehadiran Koperasi Merah Putih yang dimiliki petani atau masyarakat desa secara bersama-sama, maka petani bukan lagi hanya sebagai penghasil komoditi tersebut. Petani akan menjadi pelaku bisnis dari komoditi yang mereka hasilkan. Petani dapat bergerak ke hilir dalam rantai pasok. Dengan demikian maka nilai tambah yang dihasilkan dari komoditi yang dihasilkannya dari setiap prosesnya akan dapat dinikmati oleh petani. Akhirnya, petani bisa menjadi pelaku bisnis, dan bukan hanya sebagai objek pembangunan yang menghasilkan berbagai komoditi pertanian.
Meskipun program Koperasi Merah Putih belum tentu sempurna, namun kita perlu bersikap konstruktif. Koperasi adalah instrumen demokratis yang bisa menjadi milik semua orang. Kita bersama-lah yang bisa menyempurnakan desain, pelaksanaan, dan keberlanjutannya.
Koperasi Merah Putih bukan sekadar proyek, melainkan sebuah janji bahwa petani akan menjadi subjek, bukan objek pembangunan. Mari kita dorong koperasi ini agar benar-benar berfungsi sebagai kendaraan menuju kedaulatan ekonomi desa dan ekonomi petani. Kita sudah terlalu lama “tidak berkoperasi.” Kini saatnya kembali berkoperasi untuk kesejahteraan bersama.
(Opini ini telah terbit di halaman opini Padeks, Rabu 30 Juli 2025)






