Jakarta, Kliksiar— Negeri yang maju bukanlah negeri yang hanya mengandalkan kekayaan alamnya semata, tetapi negeri yang mampu mengangkat martabat rakyatnya melalui pemberdayaan dan kebersamaan. Di wilayah Talu, Kabupaten Pasaman Barat, sumber daya alam yang melimpah, budaya yang kaya, serta tanah yang subur seharusnya menjadi kekuatan bagi masyarakatnya. Namun hingga kini, potensi itu masih belum sepenuhnya tergarap, masih banyak hal yang perlu dibenahi, masih banyak rakyat yang perlu diberdayakan.
Hari itu, di Gedung DPR RI, sebuah percakapan penting berlangsung. Raja Kabuntaran Talu, Tuanku Bosa XV, hadir menemui anggota Komisi II DPR RI, Rahmat, Senin (5/5).
Pertemuan ini bukan sekadar diplomasi, bukan sekadar bicara tentang perencanaan pembangunan, tetapi tentang harapan, tentang bagaimana rakyat bisa bergerak sendiri untuk membangun tanah yang mereka pijak.
Tuanku Bosa XV berbicara dengan penuh keyakinan. Ia melihat dengan jelas bahwa pertanian modern dan pengelolaan hutan lestari bisa memberi nilai tambah bagi masyarakatnya, bukan hanya sebagai sumber penghidupan tetapi sebagai warisan yang harus dijaga. Tetapi rakyat tak bisa berjalan sendiri, mereka harus didampingi, dibekali ilmu, dan diarahkan ke praktik yang ramah lingkungan serta berkelanjutan.
Lebih dari itu, ia menegaskan bahwa kelembagaan lokal perlu diperkuat, agar masyarakat dapat mengorganisasi diri dalam memperjuangkan kepentingan mereka sendiri. Jika masyarakat bersatu dalam kelompok yang kuat dan produktif, maka perubahan nyata bisa dimulai dari bawah.
Masalah lain yang muncul adalah akses terhadap permodalan. Banyak pelaku usaha kecil dan mikro yang memiliki gagasan, memiliki semangat, tetapi terbentur pada kenyataan bahwa modal masih sulit dijangkau. Tanpa dukungan finansial, ide-ide usaha yang berkembang di desa hanya akan menjadi angan yang tak pernah benar-benar terwujud.
Rahmat Saleh, yang menerima audiensi ini, menyambut gagasan yang dibawa oleh Tuanku Bosa XV. Baginya, pembangunan bukan hanya soal kebijakan di tingkat nasional, tetapi tentang bagaimana rakyat di akar rumput bisa bergerak sendiri, dengan dukungan nyata dari negara.
Pembangunan itu tidak selalu harus dari atas. Ketika masyarakat di tingkat akar sudah bergerak, tugas negara adalah membuka ruang dan memberikan dukungan nyata, ujarnya.
Ia melihat pariwisata sebagai salah satu sektor yang bisa menjadi penggerak ekonomi bagi daerah seperti Talu. Alam yang indah, budaya yang kaya, serta masyarakat yang memiliki keramahan khas Minangkabau adalah modal yang tak ternilai. Tetapi potensi itu harus dikelola dengan bijak, harus ada keseimbangan antara ekonomi dan pelestarian.
Pariwisata yang tumbuh tidak boleh merusak, tetapi justru harus menjaga dan menghidupkan kembali tradisi serta ekosistem yang ada, katanya.
Rahmat pun memastikan bahwa gagasan ini tidak akan berhenti dalam pembicaraan semata. Ia berjanji akan menjembatani aspirasi Raja Talu kepada kementerian dan lembaga teknis yang berkaitan. Bahkan, ia membuka peluang untuk turun langsung ke wilayah Talu, melihat sendiri bagaimana potensi yang ada bisa dikelola dengan baik.
Kami siap menjadi bagian dari proses ini. Ini bukan sekadar wacana, tetapi soal masa depan masyarakat yang ingin maju dengan tetap memegang nilai-nilai lokal, tegasnya.
Dalam percakapan ini, yang dibahas bukan hanya infrastruktur, bukan hanya tentang ekonomi, tetapi tentang martabat rakyat. Ketika rakyat diberi kesempatan untuk tumbuh, ketika mereka diberikan alat dan pengetahuan yang memadai, mereka tidak hanya akan bertahan tetapi akan berdiri tegak sebagai bagian dari sebuah bangsa yang besar.
Perubahan tidak selalu harus datang dari atas. Terkadang, ia muncul dari mereka yang setiap hari berkeringat di ladang, dari tangan-tangan yang mencangkul tanah, dari mereka yang melihat harapan dalam usaha kecil mereka sendiri.
Dan ketika negeri ini benar-benar memahami hal itu, maka kebangkitan tidak lagi sekadar cita-cita, tetapi kenyataan yang bisa dirasakan oleh semua. (***)