Jakob Oetama tak Ingin Koran di Sumbar Mati

oleh -228 Dilihat

Kompas punya perusahaan Pers Daerah (Persda), yaitu perusahaan yang mengelola penerbitan koran dengan penyebaran di satu provinsi. Hampir di setiap provinsi Persda dengan nama ikon Tribun….. Di Riau Ada Tribun Pekanbaru, di Jambi ada Tribun Jambi, di Sumsel ada Tribun Sumsel selain Sriwijaya Post. Di Aceh ada Serambi Indonesia. Semuanya menunjukkan pertumbuhan dan perkembangan yang luas biasa. Dengan brand Kompas-Gramedia, di mata pembaca menjadi jaminan mutu.

 

Lantas bagaimana di Sumbar? Manajemen Persda beberapa kali melakukan survei, dan memyimpulkan pasar pembaca koran di Sumbar masih bagus dan sangat prospektif.

 

Saya dapat informasi selain dari teman-teman Tribun di daerah, juga info dari teman di Jakarta, karena saya kala itu bertugas di kantor Kompas, Palmerah Selatan, Jakarta. Bagi saya informasi ini ancaman bagi teman teman di Padang, Sumatera Barat.

 

Uda Basril Djabar, owner dan Pemimpin Umum Singgalang, saya kabari soal Tribun Padang akan masuk Sumbar. Tentang itu, tentu saja ini informasi yang mencemaskan dan ancaman “gempa besar” bagi pengusaha pers di Sumatera Barat. Kalau itu terjadi, Tribun Padang masuk Sumbar, bisa dipastikan koran koran perjuangan di Sumbar akan gulung tikar.

 

Uda Basril Djabar menyadari itu, dan segera minta bantuan saya untuk bisa bertemu dengan pendiri Kompas Jakob Oetama. Itu terjadi pasca gempa besar yang melanda Sumbar, tahun 2009.

 

Saya akan cari waktu yang pas kapan Pak JO, begitu keluarga Kompas memanggil Jakob Oetama, punya waktu untuk bisa menjamu Da Bas, panggilan Basril Djabar.

 

Suatu kali, awal awal tahun 2010, saya sempat satu lift dengan Pak JO di gedung pusat Kompas Gramedia, Palmerah Selatan. Pak JO tujuan ke lantai 6, ruang kerjanya, sedang saya ke lantai 3, ruang kerja redaksi Kompas. Dalam kesempatan dalam lift itu, saya sampaikan salam Dabas. Saya bilang, “Sahabat Bapak di Padang, PU Singgalang, Basril Djabar, kirim salam. Beliau juga minta waktu bertemu Bapak.”

 

Dengan senyum Pak JO mengaku kenal sekali dengan Basril Djabar, karena sama sama tergabung di Serikat Penerbit Suratkabar (SPS). Pak JO saya dampingi sampai ketemu sekretaris beliau, sembari minta dijadwalkan waktu Pak JO bertemu Basril Djabar, pendiri Singgalang di Padang.

 

Beberapa waktu kemudian, saya dikabari tentang waktu pertemuan dua sahabat tokoh pers Indonesia ini, Pak JO dan Da Bas. Segera saya telepon Da Bas. Alhamdulillah, Da Bas senang.

 

Saat hari pertemuan itu, saya hanya antarkan Da Bas dan Khairul Jasmi ke sekretaris Pak JO, kemudian saya kembali ke ruang kerja saja.

 

Pertemuan usai, Da Bas ceritakan inti pembicaraan dengan Pak JO. Bagaimana cerita lengkapnya, tentu Da Bas yang bisa cerita. Yang pasti, pertemuan itu juga hadir Direktur Utama Persda Herman Darmo dan CEO Kompas Gramedia, Mas Agung.

 

Menurut cerita Da Bas, dia ceritakan bagaimana Sumbar yang luluh lantak dihantam gempa, dan media yang jatuh bangun untuk bisa mencerdaskan kehidupan bangsa. Usia Singgalang paling selisih 2-3 tahun dengan Kompas. Akan tetapi, resiko yang ditanggung Singgalang lebih besar dari Kompas. Gempa tidak hanya sekali terjadi, tetapi berkali kali dan ancaman itu bisa kapan saja.

 

Singkat cerita, berkaca – kaca juga Pak JO dengar cerita Da Bas. Sabak juga air mata tokoh pers yang humanis dan tak ingin membunuh media sahabat beliau.

 

Akhirnya, diputuskan koran Tribun Padang tidak boleh buka di Sumatera Barat.

 

Sebagaimana diketahui, koran Tribun harga promosi harganya cuma Rp2.000. tebalnya sama dengan Singgalang yang harganya Rp4.000an. Hal ini tentu saja “membunuh”. Da Bas juga sempat menantang, kalau harga Tribun Padang sama dengan harga koran harian di Padang, Da Bas menyatakan siap berkompetisi, siap bersaing.

 

Kalau keputusan Pak JO sudah keluar, jarang ada yang melawan. Saya yakin penjelasan Pak JO merespon Da Bas pasti soal bisnis media kelompok Kompas yang tak semata mengejar duit, keuntungan besar. Pak JO juga biasanya, bicara soal bagaimana kehidupan wartawan dan keluarganya, dan juga bagian lain di media, yang menggantungkan hidup dari media dibangun dengan berdarah darah.

 

Kalau dengan harga yang bersaing, Da Bas bukan tidak siap, tapi Da Bae juga memikirkan keberadaan media lain di Sumatera Barat.

 

Karena sudah ada lampu merah untuk koran Tribun Padang, sekira sembilan tahun kemudian 2019, hanya bisa masuk dalam bentuk tribun Padang online, media daring saja. Sekarang tribunpadang online dipimpin Emil Mahmud, yang sebelumnya di Bangka Pos, Persda Kompas di Bangka Belitung.

 

Begitu Pak JO, yang berpulang siang kemarin dan tadi jasadnya dikebumikan di Taman Makan Pahlawan Kalibata, Jakarta.