Menimbang Akal Sehat di Tengah Hiruk-Pikuk Ijazah Palsu

oleh -54 Dilihat
oleh

Opini oleh: SAM SALAM 

Ada sesuatu yang aneh tentang hiruk-pikuk ini, tentang cara ia bergulir, liar, tanpa bentuk yang jelas. Sebuah tuduhan, sebuah gugatan, sebuah riuh yang mendadak memenuhi ruang-ruang diskusi. Tidak ada awal yang pasti, hanya suara-suara yang saling bertabrakan, membangun ketidakpastian di atas fondasi opini yang terus berubah bentuk.

 

Tuduhan yang Mengawang

Di satu sisi, mereka yang percaya bahwa logika hukum harus berjalan sebagaimana mestinya.  Siapa yang menuduh, dialah yang harus membuktikan. Itu adalah prinsip dasar, sesuatu yang harusnya tak perlu diperdebatkan. Tetapi dalam hiruk-pikuk ini, bahkan yang paling jelas pun menjadi kabur, seakan hukum tak lagi cukup untuk meredam gelombang kecurigaan yang semakin besar.

 

Keinginan untuk Melihat yang Nyata 

Di sisi lain, mereka yang meminta jawaban. Jika ijazah itu asli, mengapa tak ditunjukkan saja? Sebuah pertanyaan sederhana, hampir seperti percakapan santai di meja kopi. Tapi di balik pertanyaan itu, ada ketidakpercayaan yang tak bisa disembunyikan. Sebuah tuntutan yang tak hanya meminta bukti, tetapi sekaligus menuding tanpa benar-benar tahu ujungnya.

 

Ketakutan yang Bersembunyi dalam Kata-Kata 

Lalu ada mereka yang tak ingin suara ini menjadi terlalu besar, terlalu sulit untuk dihentikan. “Tanpa melihat yang asli, kok bisa dituding palsu?” Sebuah pernyataan yang mencoba menetralisir semuanya, seolah ingin mengembalikan semua ini ke dalam batas yang bisa dikendalikan. Tapi suara itu terdengar panik tak ingin terlalu jauh masuk, takut ada sesuatu yang lebih besar yang mungkin terungkap.

 

Ketika Orang Awam Tenggelam

Bagi mereka yang tidak berada di tengah perdebatan, yang hanya menyaksikan dari jauh, semua ini terasa seperti gelombang yang datang tanpa aba-aba.  Mana yang harus dipercaya? Mana yang benar? Tidak ada kejelasan. Tidak ada pegangan. Hanya suara-suara yang berlomba-lomba untuk menang, tanpa ada kepastian siapa sebenarnya yang membawa kebenaran.

 

Pintu Pengadilan Terbuka 

Perkara ini telah menjadi lebih dari sekadar perbincangan di warung kopi. Gugatan resmi telah dilayangkan. Ini bukan lagi spekulasi, tetapi sesuatu yang akan diuji dalam ruang yang lebih dingin, lebih tajam, lebih tak kenal kompromi.

Cipotong Alay mungkin hanya diam, mengamati semuanya tanpa keinginan untuk ikut serta. Ia tahu bagaimana semuanya bisa berakhir, tahu bahwa di antara suara-suara yang beradu, selalu ada yang akhirnya jatuh. Tak mampu membezuk. Tak ingin harus melihat seseorang terseret terlalu jauh.

 

*Pilihan yang Tersisa *

Menjadi “Awam yang Cerdas” adalah satu-satunya pilihan yang masuk akal. Jika tak mampu membuktikan, setidaknya jangan mudah terperdaya. Jika tak bisa menuntaskan, jangan pula ikut menambah riuh.

 

*Menunggu yang Tak Terhindarkan *

Karena pada akhirnya, semua ini akan menemukan ujungnya. _ _“Wait and See.”_