Oleh :
Two Efly
Padang Ekspres
Setiap pertemuan pasti diujung penantiannya perpisahan. Ada yang berpisah karena maut, ada pula yang berpisah karena pertikaian dan ada pula berpisah karena keadaan. Maksudnya, kebersamaan tak bisa dilanjutkan karena realita politik yang menginginkan perpisahan itu.
Kondisi ini terjadi pada duet Mahyeldi-Audy. Hubungan baik, harmonisasi dan kombinasi “ayah dan anak” dalam memimpin Sumbar mustilah berakhir karena keadaan. Partai yang mengusung Mahyeldi lebih memilih Vasco Ruseimy ketimbang Audy. Mahyeldi sebagai “marapulaipun” bersedia meninggalkan Audy karena itu adalah putusan partai. Sebagai Ketua Dewan Pimpinan Wilayah dan kader partai Mahyeldi mustilah tunduk dan menerima keputusan partai.
Bagaimana dengan Audy? Ya selamat tinggal dan terima kasih. Audy telah setia mendampingi Mahyeldi. Kadang dalam moment tertentu, Audy menyanggupi diri menjadi “martil”. Tak jarang juga Audy menjadi “handuk basah” untuk memadam api agar tidak “membakar lumbung”. Beberapa kali “bola panas” berhasil dilewatinya. Bahkan tak jarang pula Audy jadi “tameng hidup” agar bola “politik dan hukum” tak melindas duet Mahyeldi-Audy.
Kini apa hendak dikata. Saya yakin Mahyeldi dari lubuk hati terdalamnya masih ingin berduet dan melaju bersama Audy. Ini sering terlintas dan terucap ke sejumlah orang dekatnya dan beberapa Kepala Daerah. Meskipun begitu petuah Minang mengatakan, “dapek nan dihati alun tantu dapek sasuko hati”. Nak duo petuah sa iriang, ” Sakali aia gadang, sakali tapian barubah”.
Perjalanan dari duet Mahyeldi-Audy sudah harus diakhiri. Pilgub tinggal dalam hitungan hari. Dua partai besar di Sumbar sudah sepakat dan menuju koalisi. Partai Keadilan Sejahtera dan Gerindra berjalan bersama. Cinta lama bersemi kembali. Koalisi ” se gajah” kembali hidup dan ranum dalam kontestasi Pilgub 2025-2030.
Selamat jalan Audy. Hidup adalah pilihan, jabatan hanya salah satu jalan untuk pengabdian. Masih banyak jalan dan daya yang dapat dilakukan membangun ranah. Tetaplah peduli dan memperhatikan ranah ini. Kembalilah “ke tanah rantau”, lakukanlah apa yang bisa dilakukan untuk membangun ranah ini.
Mahyeldi-Vasco
Tak ada musuh abadi dan tak ada pula sahabat sejati dalam dunia politik. Satu hal yang pasti, hulu dari seluruh pernak dan pernik politik adalah kepentingan. Ketika kepentingan dua kutub berbeda sama maka kebersamaan akan terjadi. Begitu juga sebalik. Seharmonis apapun, se setia apapun dan sejiwa sekalipun ketika kepentingan organisasi tak sama maka perpisahan tak bisa dihindari.
Mahyeldi-Vasco membuktikan itu. Duet kader Partai Keadilan Sejahtera dan Gerindra ini jelaslah beranjak dari kepentingan yang sama. Sama sama ingin memenangkan kontestasi pilgub 2025-2030. Kalau membangun Sumbarnya itu berada dalam bilik yang berbeda. Itu baru dilakukan setelah memenangkan kontestasi.
Secara politik PKS dan atau Mahyeldi membutuhkan pendamping yang bisa membantunya memenangkan kontestasi. Elektoral yang tinggi saat ini juga tidak menjamin Mahyeldi pasti terpilih. Mahyeldi membutuhkan pendamping politiknya untuk ikut menahan laju penurunan elektoral ditengah “serangan politik” bertubi tubi dari rival politiknya. Setidaknya, pendamping Mahyeldi bisa mengunci kemungkinan laju penurunan elektoral dan syukur syukur bisa mengangkat kembali elektoral melampau 50+1 persen dari total pemilih Sumbar.
Tidak mudah untuk mengunci dan mengangkat elektoral itu. Dibutuhkan kerja politik yang terukur dan terencana. Diperlukan sosialisasi agar nawaitu Mahyeldi-Vasco untuk membangun Sumbar ini sampai ke telinga pemilih. Butuh cost politik yang cukup besar, butuh infrastruktur partai yang kuat dan solid dan dibutuhkan waktu yang panjang dalam rentang masa yang pendek menjelang pencoblosan.
Itu dalam kontek memenangkan. Sementara pasca kemenangan duet ini juga secara teori akan saling melengkapi. Mahyeldi memiliki magnet elektoral dengan publik dan Vasco adalah “jembatan lurus” ke pucuk pimpinan nasional. Ini bisa jadi merupakan salah satu pertimbangan PKS menjatuhkan pilihan untuk berkontestasi. Sumbar adalah negeri miskin sumberdaya. Untuk membangun Sumbar dibutuhkan suport dan dukungan APBN. Vasco di simbolkan sebagai “fly over” yang dapat menyambungkan itu.
Kotak Kosong or Head to Head
Kalau PKS-Gerindra sudah kongkrit dan siap “berlayar kapalnya” bagaimana dengan 7 partai lainya (Golkar, PAN, PDIP, Nasdem, Demokrat, PKB dan PPP). Semuanya saat ini masih berproses, mekanisme di internal partainya masih berlangsung. Kita tunggu saja bagaimana ending akhirnya menjelang pendaftaran ke KPUD Sumbar.
Bak gunung akan meletus, jauh sebelum erupsi tentulah ada tanda tanda dan gejala alamnya datang memberi sinyal. Gempa tremor dalam mulai terjadi, asap putih tebal mulai muncul dari mulut kaldera dan sebagainya.
Kini itu yang tak terlihat pada sejumlah Partai Politik (non PKS-Gerindra). Dinamika politik hanya terbaca dan terlihat pada partai PKS, Gerindra dan PAN. Partai lain sepertinya adem adem saja. Entah tidak berminat, entah takut sebelum bertarung atau tak punya kader yang siap diterjunkan ke gelanggang untuk bertarung.
Meskipun begitu, sebagai bagian dari publik di Ranah kita berharap partai politik menjaga marwah demokrasi yang diperjuangkan dengan darah dan air mata. Janganlah partai politik menjadi lembaga pengecut yang memberangus demokrasi apalagi menjadi “malin kundang” demokrasi. Tegasnya, partai politik yang tersisa haruslah tetap mengusung dan tidak hanya memilih mendukung. Jangan biarkan Sumbar ini Pilgub Kotak Kosong. Setidaknya munculkan satu pasang lagi sehingga head to head bisa terjadi.
Penulis termasuk salah satu dari insan yang tak sependapat bahwa kotak kosong juga bagian dari demokrasi. Bagi penulis kotak kosong adalah buah dari matinya nyali kompetisi seorang politisi. Kotak kosong adalah buah dari gagalnya partai politik melahirkan kaderisasi kepemimpinan. Kotak kosong adalah sejarah gelap dan kelam serta menjatuhkan harga diri Minang Kabau yang telah berjasa besar membangun republik ini. Untuk itu wahai partai politik bekerja lah, berjuanglah. Jangan sampai Pilgub Kotak Kosong benar benar terjadi. Ingat, publik saat ini walau terkesan diam namun mereka pasti mengamati dan mencatatkannya dalam hati nuraninya. Apakah Parpol sebagai pejuang demokrasi atau pecundang demokrasi.
Selalu Berpisah di Ujung Jalan
Sumbar memang beda. Sumbar sangat berbeda dalam segalanya termasuk dalam dunia politik. Sejarah mencatatkan kesetiaan pasangan Gubernur-Wakil Gubernur pasca terpilih sejatinya tidaklah pernah terjadi.
Setiap Pilgub/pilwagub perpisahan selalu terjadi. Belum pernah ada sejarah duet Gubernur-Wakil Gubernur terpilih berlanjut kembali. Dalam kontestasi periode berikutnya justru yang terjadi perlawanan. Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih bertarung dalam biduk dan posisi berbeda kecuali Alm Zainal Bakar, Gamawan Fauzi yang memang tidak ikut kontestasi periode keduanya.
Benarkah? Benar. Pilgub 2005-2010 tercatat Gubernur terpilih Alm Zainal Bakar-Fachri Ahmad tidak ikut kontestasi. Prof Fachri Ahmad lebih memilih kembali ke kampus dibandingkan melanjutkan karir politiknya.
Pilgub 2010-2015, Gubernur terpilih sebelumnya Gamawan Fauzi tak ikut kontestasi karena beliau ditunjuk SBY menjadi Mendagri. Alm Prof Marlis Rahman sebagai Gubernur pengganti memutuskan maju menjadi calon Gubernur bersama Aristo Munandar. Namun sayang mereka kurang beruntung Irwan Prayitno-Alm Muslim Kasim terpilih sebagai pemenang.
Pilkada 2015-2020, pasangan terpilih sebelumnya Irwan Prayitno-Alm Muslim Kasim berkontestasi. Irwan Prayitno berpasangan dengan Alm Nasrul Abit dan Alm Muslim Kasim berpasangan dengan Dr Fauzi Bahar. Kala itu pasangan Irwan Prayitno-Alm Nasrul Abit terpilih jadi pemenang.
Pilkada 2020-2025 Wagub terpilih Alm Nasrul Abit turun berkontestasi. Alm Nasrul Abit berduet bersama Indra Catri. Namun dalam kontestasi ini dimenangkan oleh pasangan Mahyeldi-Audy.
Kini, (pilgub 2025-2030) Mahyeldi kembali ikut berkompetisi. Sama dengan realita sebelumnya pasangan terpilih kembali berpisah. Mahyeldi tidak berpasangan lagi dengan Audy. Mahyeldi dengan keputusan politiknya lebih menghidupkan kembali “cinta lama” partainya. Koalisi PKS-Gerindra bersemi kembali. Mahyeldi-Vasco Ruseimy menjadi pilihan kedua partai besar di Sumbar.
Rentetan sejarah ini menunjukan kepada kita semua bahwa kesetiaan politik tidaklah pernah terjadi di level Provinsi. Dinamika politik selalu berbeda setiap periodenya. Selain itu, Pilgub Kotak Kosong juga tidak pernah terjadi. Akankah yurisfrudensi politik ini terjadi lagi atau akan lahir sejarah baru? Kita tunggu saja dinamika politik dalam satu atau dua bulan ke depan. ***